Goresan Buat Sang Bidadari

Pujaan Hati

 

(Refleksi atas jawaban khitbah seorang temanku)

Assalaamu’alaikum yaa ukhtiy…

Bismillaahirrahmaanirrahiim…………

Wahai Bidadari Sorga…….
Wahai sang impian para ‘abdush sholih…….
Bagaimanakah kabar imanmu hari ini?

Wahai adinda…..

Implikasi negatif dari sebuah harapan adalah kekecewaan, itu adalah resiko. Aku pahami itu, namun terlalu menusuk rasanya keadaan seperti ini. Ketika sudah banyak yang tau dengan khitbah yang telah terlontarkan, orang tua, adek-adek, keluarga, teman, semuanya. Yah, semuanya telah mengetahui kabar baik ini.

Entah jawaban apa yang akan aku beri ketika mereka bertanya. Betapa malunya aku? Apalagi ketika ada panggilan untuk pulang kampung, di saat rasa rindu dengan keluarga sudah tak terbendung lagi, namun berat rasanya kaki untuk melangkah, dihijab oleh rasa MALU yang tak terhingga yang mungkin tak seorang pun bisa memahaminya, termasuk dirimu wahai adindaku… Tapi apalah daya, ini persoalan rasa, ranahnya hati yang g’ bisa dipaksa untuk dapat dimengerti. Aku sangat menghargai keputusanmu.

Aku juga g’ berharap jawabanmu akan berubah namun ada beberapa pertanyaan yang sampai saat ini masih menggerutu di benakku, seiring retorika jawabanmu yang sulit untuk aku mengerti. Aku hanya butuh rasionalisasi dari semua ini dinda, hanya itu,,, agar hati dan fikiranku bisa tenang seperti layaknya dirimu sekarang.

Sebenarnya apa tujuanmu membuatku seperti ini? Apa artinya komunikasi kita selama ini? Kamu yang menyuruhku buat mengkhitbah bidadari itu, sementara dirimu tau kalau indikasi rasaku itu adalah untukmu, ya kan..? Kamu g’ bisa bohongi itu.. Kamu juga yang memaksa lidah buat berucap, kamu yang memaksa hati buat bicara, dengan dalih  : “Perempuan itu sifatnya hanya menunggu, n kalau dia benar-benar seorang perempuan yang sholehah, pasti ia tidak akan memberi jawaban sembarangan, pasti ia akan mempertimbangkannya..” Itu kan, yang kamu bilang sama aku? Tapi apa, akhirnya kamu pula yang meremas hati itu hingga meneteskan darah-darah kekecewaan. Kadang terkesan seperti skenario yang disetting sedemikian rupa oleh sutradara yang diakhiri dengan sad ending dan korbannya adalah Romeo.

(Langkah yang da ambil dah tepat, puasa sunah, tapi sampai kapan da sanggup puasa, uda dah pernah ungkapkan keinginan uda ama dia belum? Da, tali kendali ada di tangan uda sekarang kalau uda tunggu sampai dia ungkapkan perasaannya g’ bakalan selesai da. Kalau uda lah siap lanjut. Khitbah dia!!! Masalah terima ato g’ nya itu ntar, tp yakin aja da, kalau diin (agama)-nya bagus insya Allah dia gak akan ambil keputusan sembarangan da).
Sms ini g’ aku balas tapi kamu yang ngotot lagi bertanya,
(Uda baa dah siap utarakan niat uda sama bidadari sholeha itu, trus gimana aku penasaran  neh).

Kalau manusia berfikir ini adalah sebuah indikator dinda…..,
Aku tau yang mengatur hati adalah Allah, Tapi mengapa aku g’ kuat untuk hal yang satu ini,? G’ kuat.. tolong bantu aku dinda.. Pisau yang menyayat mungkin ribuan obat penawar tapi untuk ini aku terlalu lemah.
Terkait dengan alasanmu yang gak bisa mengumpulkan tiga hal sekaligus, perlu kamu tau, aku mengkhitbahmu karena aku g’ mau kehilangan, sebelum bunga dipetik orang, bukan untuk buru-buru menikah.  Tidak,  aku siap m’nunggu, kapan kamu siap, dan insya Allah aku g’ akan berubah selama kamu masih bertahan dalam jawaban itu, dan pun seandainya rasa itu sudah pergi kamu boleh bilang ama aku, agar aku berhenti berharap.. itu sebenarnya.. terlalu naif kamu menolak dengan alasan seperti itu.
Aku berharap kamu gak melakukan hal yang sama ama yang lain. Bermain api resikonya terbakar, terbakar itu sakit dindaku……. Apalagi yang terbakar itu hati, terima kasih atas semuanya.
Wassalam.

 

Recent Posts :

https://adrianestih.wordpress.com/2011/01/27/goresan-buat-sang-bidadari/

4 pemikiran pada “Goresan Buat Sang Bidadari

Tinggalkan komentar